5. Rumah




 

Rumahku kini berubah,
 Sudah lama aku tak pulang kerumah, dan saat tiba rumahku berubah. Tak lagi seramai dulu, tak lagi seterang dulu. Rumahku kini berubah, tapi kehangatannya terasa sama, tak pernah berubah tak akan berubah. Namun sepinya begitu terasa, semakin tak mau rasanya kembali ke perantauan. Hangatnya tetap sama, lengkungan senyum dibibir ibu dan bapak juga sama. Menyejukkan, memberi kekuatan, menenangkan, semua sudah cukup di rumah.  

Rumahku kini berubah,

Sudahlah aku hanya bercanda, rumahku tak seterang dulu, maaf aku berbohong. Rumahku tetap sama karena rumah bukan tentang bangunan di kampung halaman. Bukan tentang umur ibu dan bapak yang terus bertambah, bukan tentang keriput keriput mereka yang bertambah atau uban yang semakin banyak. Rumah bukan tentang keponakanku yang semakin bertambah besar dan bertambah kosa katanya. Rumah bukan tentang berapa sering aku pulang, atau betapa aku merindukan matahari terbit di jendela kamar mandi, ataupun terang matahari yang memenuhi dapur. 

Bukan tentang umur ibu dan bapak yang terus bertambah

Rumah adalah tentang hati yang sama yang mengharapkan kepulangan, yang selalu khawatir aku sudah berjalan sejauh apa, yang selalu menanyakan kapan pulang. Rumah adalah tentang memahami kata kata yang berkebalikan, melarangku pulang karena mengaharapkanku pulang dan mengingat rumah.

Sudah jangan menangis, aku sedang di rumah tak enak dilihat ibu dan bapak.

 Bapak selalu mengingatkan untuk berbetah betahlah di tanah perantauan, ambil ilmu sebanyak banyaknya. Sudah jangan menangis, aku sedang di rumah. Bapak selalu bertanya berapa banyak teman yang aku punya, (tenang pak aku punya banyak teman dan keluarga baru yang sangat baik di Surabaya). Selalu bersemangat menjemputku di terminal, walaupun menunggu kedatangan bisku yang begitu lama di perjalanan. Seringkali menolak aku pulang sendirian naik angkot meski aku pulang disiang hari, selalu menawarkan makan sebelum sampai kerumah. Selalu menanyakan kapan pulang membawa pasangan. Selalu mengingatkanku untuk sholat, dan jangan lupa berdoa. Masih teringat kata kata semangat yang beliau ucapkan saat hatiku mulai merindukan rumah.
“Semangat semangat!,” Begitu katanya

Ibu selalu tersenyum saat aku pulang. Selalu menengokku dikamar, ingin tau aku sedang megerjakan apa. Entah benar atau tidak selalu menahan tangisannya, dengan rona merah di pipinya. Selalu khawatir aku kehabisan uang di perantauan, selalu menanyakan makanan apa yang aku makan di Surabaya. Selalu menyuruhku beli makan sayur dan jus wortel aku nggak suka padahal. Selalu bertanya bagaimana keadaan kosan, selalu menyuruh membawa oleh oleh untuk ibu kos biar dikasih perhatian lebih katanya (tenang buk, ibu kosku orangnya super baik). Selalu menyelipkan quotes quotes kecil saat sedang marah marah.  Selalu menyuruhku untuk sering sering pakai kaos kaki, selalu menanyakan apa aku kedinginan di Batu. Menyuruhku makan, mengingatkan air di mesin cuci karena di dapur sering kebanjiran air dari mesin cuci yang lupa aku matikan.

Satu satunya orang yang mudah untuk ku memeluk, selain rasna.

Itu sudah cukup, memiliki mereka berdua sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan aku hidup. Untuk kamu iya kamu yang tak bisa lagi melihat ibu atau bapak dengan mata, jangan bersedih kamu selalu bisa melihat mereka dengan hatimu.
Hati yang selalu merindukan rumah.

Dengan menahan airmata yang sudah ada di ujung tenggorokan
sekian

Komentar