Rumahku kini berubah,
Sudah lama aku tak
pulang kerumah, dan saat tiba rumahku berubah. Tak lagi seramai dulu, tak lagi
seterang dulu. Rumahku kini berubah, tapi kehangatannya terasa sama, tak pernah
berubah tak akan berubah. Namun sepinya begitu terasa, semakin tak mau rasanya
kembali ke perantauan. Hangatnya tetap sama, lengkungan senyum dibibir ibu dan
bapak juga sama. Menyejukkan, memberi kekuatan, menenangkan, semua sudah cukup
di rumah.
Rumahku kini berubah,
Sudahlah aku hanya bercanda, rumahku tak seterang dulu, maaf
aku berbohong. Rumahku tetap sama karena rumah bukan tentang bangunan di kampung
halaman. Bukan tentang umur ibu dan bapak yang terus bertambah, bukan tentang
keriput keriput mereka yang bertambah atau uban yang semakin banyak. Rumah
bukan tentang keponakanku yang semakin bertambah besar dan bertambah kosa
katanya. Rumah bukan tentang berapa sering aku pulang, atau betapa aku
merindukan matahari terbit di jendela kamar mandi, ataupun terang matahari yang
memenuhi dapur.
Bukan tentang umur ibu dan bapak yang terus bertambah
Rumah adalah tentang hati yang sama yang mengharapkan
kepulangan, yang selalu khawatir aku sudah berjalan sejauh apa, yang selalu
menanyakan kapan pulang. Rumah adalah tentang memahami kata kata yang
berkebalikan, melarangku pulang karena mengaharapkanku pulang dan mengingat
rumah.
Sudah jangan menangis, aku sedang di rumah tak enak dilihat ibu dan
bapak.
Bapak selalu
mengingatkan untuk berbetah betahlah di tanah perantauan, ambil ilmu sebanyak
banyaknya. Sudah jangan menangis, aku sedang di rumah. Bapak selalu bertanya
berapa banyak teman yang aku punya, (tenang pak aku punya banyak teman dan
keluarga baru yang sangat baik di Surabaya). Selalu bersemangat menjemputku di
terminal, walaupun menunggu kedatangan bisku yang begitu lama di perjalanan. Seringkali
menolak aku pulang sendirian naik angkot meski aku pulang disiang hari, selalu
menawarkan makan sebelum sampai kerumah. Selalu menanyakan kapan pulang
membawa pasangan. Selalu mengingatkanku untuk sholat, dan jangan lupa
berdoa. Masih teringat kata kata semangat yang beliau ucapkan saat hatiku mulai
merindukan rumah.
“Semangat semangat!,” Begitu katanya
Ibu selalu tersenyum saat aku pulang. Selalu menengokku
dikamar, ingin tau aku sedang megerjakan apa. Entah benar atau tidak selalu
menahan tangisannya, dengan rona merah di pipinya. Selalu khawatir aku
kehabisan uang di perantauan, selalu menanyakan makanan apa yang aku makan di
Surabaya. Selalu menyuruhku beli makan sayur dan jus wortel aku nggak suka
padahal. Selalu bertanya bagaimana keadaan kosan, selalu menyuruh membawa
oleh oleh untuk ibu kos biar dikasih perhatian lebih katanya (tenang
buk, ibu kosku orangnya super baik). Selalu menyelipkan quotes quotes kecil
saat sedang marah marah. Selalu
menyuruhku untuk sering sering pakai kaos kaki, selalu menanyakan apa aku
kedinginan di Batu. Menyuruhku makan, mengingatkan air di mesin cuci karena
di dapur sering kebanjiran air dari mesin cuci yang lupa aku matikan.
Satu satunya orang yang mudah untuk ku memeluk, selain rasna.
Itu sudah cukup, memiliki mereka berdua sudah lebih dari
cukup untuk menjadi alasan aku hidup. Untuk kamu iya kamu yang tak bisa lagi
melihat ibu atau bapak dengan mata, jangan bersedih kamu selalu bisa melihat
mereka dengan hatimu.
Hati yang selalu merindukan rumah.
Dengan menahan airmata yang sudah ada di ujung
tenggorokan
sekian
Komentar
Posting Komentar