23. Hari Pertama

Menulis lagi agar bisa abadi.

Tadi pagi bapak menelpon, menanyakan kabar, menanyakan apa uangku masih cukup untuk beberapa hari setelah ini, menanyakan kapan pulang. Seperti biasa aku menangis, di pagi hari di tahun yang baru. Seperti biasa aku mengatakan aku baik-baik saja, uangku masih cukup, dan berlagak tertawa. Aku juga merindukan rumah, pak. Walaupun mungkin tak sebesar bapak dan ibu merindukanku, mungkin.

Aku mulai jenuh dengan Surabaya.

Segala hiruk pikuk, hingar bingar. Aku mulai kebosanan, tapi aku harus menyelesaikan apa yang telah aku mulai. Aku harus mewujudkan harapan-harapan yang di bebankan di pundakku, aku harus tetap berdiri walaupun kakiku ingin sekali menyerah dan berjalan pulang.

Seringkali aku berpikir tidak apa untuk gagal disini.

Seringkali aku pasrah di awal hari, padahal aku telah diberikan  kesempatan sedemikian rupa. Seringkali aku lupa bahwa aku tidak sendirian disini. Seringkali aku tak memikirkan apapun selain alasan-alasan yang membuatku bahagia disini, yang seringkali hilang atau berbalik arah.

Seringkali aku tak memahami diriku sendiri.

Aku tersesat ke antah berantah

Lalu seperti biasa akan ada yang menelpon untuk menanyakan kabar, Bapak. Aku seringkali meminta doa kelancaran dan dibalas dengan kepastian. Aku ingin sesekali berkeluh kesah tapi rasanya tak pantas dengan usahaku sekarang, dengan keadaanku sekarang. Terkadang bapak memberi semangat tanpa diminta, tanpa tau aku memang benar-benar membutuhkannya.

Terkadang hanya dengan kata-kata "bagaimana kabarnya disana?" membuatku menemukan arah yang kadang hilang. Kadang kata-kata ibu yang selalu mengingatkan aku untuk menjaga diri membuatku sadar, aku berada di tempat yang jauh dari rumah, dari ibu dan bapak.

Aku merindukan mereka.
Sangat rindu

Komentar