42. Baik-Baik Saja

Sekarang, aku baik-baik saja, setelah semua hal yang terjadi beberapa waktu terakhir. Sekarang, aku baik-baik saja karena aku tidak mengharapkan apapun lagi. Aku berharap tidak mengharapkan apapun lagi dari orang-orang yang hanya bertemu denganku untuk sementara waktu.

Sekarang, aku baik-baik saja.

Setelah melewati berpuluh malam dengan air mata dan segala penyesalan yang tiba-tiba datang. Aku baik-baik saja tapi aku tidak sama. Malam-malam yang aku habiskan tanpa menulis sepatah kata, menatap kosong dinding kamar yang gelap berusaha tidur walaupun sia-sia. Aku baik-baik saja setelah di malam-malam itu aku begitu membenci diriku sendiri, merundungi, mencaci dalam hati diriku sendiri. Kenapa aku begitu lemah? puluhan kali berpikir bagaimana bila aku menghilang saja. Sendiri.

Mendengar keluh kesahku sendiri.

Dan, yang mereka katakan memang benar. Tapi entah mengapa kata-kata semangat dari mereka membuatku semakin membenci apa yang aku pikirkan. Tidak mensyukuri keadaan, kekanakan, "Lihat, aku baik-baik saja dengan keadaanku," Begitulah. Aku mendengarnya keras sekali di dalam hatiku tanpa mereka berbicara sepatah katapun. Dan apa yang membuat malam-malamku menjadi semenyebalkan itu adalah hal yang kecil menurutku. Aku berusaha untuk membuka mata dan berkata pada diriku sendiri bahwa ini hal yang kecil, jadi tidak usah bersedih lagi. Dan aku memilih diam, kadang aku menyembunyikannya dalam gelak tawa, kadang bila aku lelah aku hanya diam.
Tapi itu tidak berhasil, sama sekali.

Aku merasa tenggelam dalam kata-kata sedih dan memalukan yang aku tulis sendiri di tengah malam. Membacanya berulang-ulang, dan menenggelamkan diri dalam-dalam. Entah kemana. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, karena aku baik-baik saja. Hanya saja, aku malu mengakui ada sisi dalam hidupku yang aku tutup rapat-rapat bahkan pada diriku sendiri. 
Mengapa aku cengeng sekali? 

Memikirkan dalam-dalam hal yang membuatku terus menerus membenci diri sendiri. Memikirkan hal yang akan dengan mudahnya diabaikan orang lain. Karena kau tau, hidup ini hanya sementara, kan?
Duniaku tidak seluas dunia kalian, duniaku hanya sebatas apa yang bisa aku dekap dengan erat.

Aku tidak bisa hanya bersalaman dengan banyak orang, lalu menyapanya lagi di lain waktu. Aku tidak bisa, aku mencoba. Tapi tetap saja, ada bagian dari diriku yang berkata mereka akan membenciku suatu saat. Cepat atau lambat, entah karena hal apa. Mereka akan senang bila aku tidak ada di mata mereka lagi. Aku yang menyebalkan hilang dari muka bumi.
Aku mudah dalam memutus hubungan dengan orang yang aku pikir juga tidak mengharapkanku, tapi aku sulit melepaskan mereka yang sudah aku pilih.

Tapi, kamu tau? Dunia ini sementara, kan? Bahkan orang-orang yang aku pilihpun juga akan pergi, entah karena bosan. Entah karena berpikir memiliki banyak orang baru untuk dikenal adalah hal yang baik mereka lakukan. Lalu membicarakan orang barunya dengan semangat seakan mengejekku yang hanya, begini saja. Aku tidak berkata bahwa cara itu adalah cara yang salah, tidak. Aku hanya tidak mampu.

Dan bila ada orang lain, yang menceritakan betapa sedihnya mereka sekarang. Jangan sekali-sekali meremehkan masalah mereka. Jangan berkata bahwa ini akan mudah, kamu akan melupakannya.

Pernahkah kamu berpikir 

Bagaimana bila hal itu justru akan menjadi ingatan terakhirnya di dunia? 

Dengarkan mereka, mengertilah dalam diam, dan jangan berkata apapun kecuali mereka bertanya padamu. 

Dan, satu hal yang terburuk. Jangan memaksa mereka bicara masalah mereka bila mereka tidak mau membicarakannya. Mengertilah. Sesempit dunia mereka, mereka selalu berhak untuk diam. Sesedih apapun mereka, mereka selalu berhak untuk sendirian

Komentar