Hari ini aku putuskan untuk mulai menulis lagi di blog ini. Dengan hati yang tenang, mungkin terlalu tenang untuk disebut tenang. Tapi tak apa, proses. Tadi sore setelah pulang kerja dan mengendarai motor menuju rumah, aku memutuskan untuk menikmati suasana kota dan ramainya jalanan. Kota yang selama ini aku anggap sebagai transit saja. Kota dimana aku tidak betah berlama-lama, kota dimana dulu aku merasa terjebak didalamnya. Yang lalu akhir-akhir ini aku dipaksa untuk menganggapnya rumah, lucu bukan?
Hanya segelintir orang yang aku kenal disini, hanya beberapa rute jalan yang aku tau. Dulu aku bahkan tidak berusaha mengingatnya, toh aku tidak akan disini lama-lama. Tapi ternyata tidak, dan harusnya memang tidak begitu caraku berfikir.
Sisa-sisa Surabaya masih melekat dalam ingatan, dulu aku senang sekali mengenang Surabaya dalam kepala. Sekarang rasanya semua itu membeku seperti es batu, aku harus memulai kenanganku sendiri dikota ini, harusnya aku menyimpan kenanganku disini. Memang menyenangkan perasaan itu, tapi entah kenapa aku tidak merasa sedih saat kenangan itu membeku.
Seperti halaman buku yang sudah terbalik, aku tidak ingin melihatnya lagi.. Setidaknya dalam waktu dekat ini, meski begitu untuk sekarang aku memang bertekad untuk benar-benar menutup halaman itu. Menganggapnya seolah-olah tidak terjadi, dan memutus semua benang yang masih terhubung. Terkadang aku masih memikirkan orang itu, teringat beberapa hal menyenangkan dan menyedihkan yang aku lalui. Ya aku juga tidak menyalahkan diri karena ingat sih, karena memang sudah terlalu lama kita bersama.
Pagi ini aku mendapat satu kata-kata yang menarik dan ya aku setuju dengan kata-kata itu. "Dysfunction isn't love" saat aku sudah mulai tidak berfungsi, sudah mulai tidak merasakan apapun dan bingung harus merasakan apa saat kita masih bersama. Sebenarnya itu hal yang sangat menyedihkan, berkali-kali aku harus mematikan keinginan dan perasaanku untuk mempertahankan apa yang sudah aku mulai.
Semakin lama aku tidak menemukan apa yang aku inginkan lalu kecewa berkali-kali.Tapi aku merasa itu adalah salah satu kerelaanku untuknya, tanpa aku sadari hatiku mati perlahan-lahan. Sering tidak merasakan apapun karena aku terlalu sering mengabaikan diriku sendiri. Sebenarnya dia membebaskanku mencari apa tujuan hidupku dan berteman dengan banyak orang, hanya saja ada hal dimasa lalu yang membuatku sangat takut untuk membuka diri dan berteman meskipun pada teman kerja.
Dan setelah dipikir-pikir itu sangat konyol, cuma aku benar-benar takut kehilangan. Setakut itu, hingga fungsi otakku untuk bersimpati, mengingat semua hal yang aku lalui disini aku pangkas paksa. Aku hanya fokus pada dia (bahkan saat dia membebaskanku).
Pada akhirnya ini memang bukan takdirku, sedih pasti, karena aku merasa sudah berusaha sekuat yang aku bisa. Menoleransi hal yang sama terus menerus, mengabaikan diriku sendiri, mati sendiri, menangis sendiri karena takut kehilangan. Mungkin ini usaha terakhir yang bisa aku lakukan untuk diriku sendiri, melepas semuanya. Memulai dari awal, menghidupkan apa yang sebelumnya mati. Perlahan, sehari demi sehari. Mengejar keterlambatanku selama ini. Tidak mudah, dan sangat canggung, namun apa yang aku temukan sekarang lebih dari cukup untuk diriku.
Selamat tinggal ya, aku tutup buku. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi di buku yang lain. Aku sungguh tidak ingin peduli lagi dengan mu, tapi semoga ada hal baik datang padamu. Karena walaupun banyak hal yang menyakitkan, tapi banyak juga hal baik dan menyenangkan selama kita menjalani itu.
Komentar
Posting Komentar